Oleh: Sani Lake
COP 30 telah usai saat pagi di hulu Sungai Katingan dimulai dalam sunyi yang lembut. Embun menari di ujung daun pisang. Asap dapur naik perlahan dari rumah-rumah panggung di tepi sungai. Perahu ketinting membelah sungai yang berkilau keemasan. Di ladang, ada perempuan Dayak menugal tanah, menanam padi ladang dengan doa yang diwariskan nenek moyang.
Di sini, krisis iklim tidak diucapkan, ia dihirup, diendus, dirasakan dari tanah yang retak, dari hujan yang terlambat, dari sungai yang semakin dangkal.
Namun ribuan kilometer di sana, di Belém. pintu gerbang Amazon yang sesak oleh gedung, kendaraan, spanduk hijau dan lencana diplomat, disana dunia sedang membicarakan krisis yang sama dengan cara yang berbeda. Di ruangan dingin ber-AC, krisis iklim keluar dari mikrofon mahal, grafik satelit, dan proposal pendanaan miliaran dolar.
Dua dunia yang membahas hal yang sama, tetapi jarak moral dan politik di antara keduanya lebih luas daripada samudra.
Dan ketika COP30 berakhir, dunia kembali dibelah, kampung-kampung yang mempertahankan hidup dari tanah dan ruang diplomasi yang mempertahankan bahasa dari kertas.
COP30 berakhir tanpa kata “Fosil” dalam dokumen yang seharusnya menyelamatkan bumi. COP30 berakhir tanpa satu pun peta jalan penghentian batu bara, minyak dan gas. Dua kata yang paling ditunggu, yaitu phase-out fossil fuels tidak berani dituliskan. Yang lahir justru bahasa kabur yang bisa diartikan sesuka kepentingan.
Belém menyaksikan kemenangan besar industri minyak, gas dan batu bara. Global Witness mencatat bahwa jumlah pelobi fosil di COP ini adalah yang terbesar sepanjang sejarah. Mereka bergerak luwes, hampir seperti tuan rumah konferensi yang seharusnya menyelamatkan bumi dari produk yang mereka jual.
Janji pendanaan iklim kembali disajikan dalam kalimat manis tanpa angka dan tanpa tenggat. Negara kaya meminta kepercayaan. Negara miskin meminta kejelasan. Yang datang hanyalah diplomasi yang menguap seperti udara panas Amazon.
Dan di luar gedung konvensi, masyarakat adat yang menjaga 80 persen keanekaragaman hayati dunia tidak disebut eksplisit dalam dokumen final. Nama mereka hilang di antara paragraf dan statistik, seolah-olah mereka bukan penjaga bumi, melainkan catatan kaki sejarah.
Lalu Indonesia? Dia pulang dengan wajah yang ditampar realitas. Dunia melihat Indonesia bukan sebagai pemimpin iklim, tetapi sebagai negara yang terperangkap dalam bayang-bayang fosil. Indonesia dianugerahi Fossil of the Day. Di pavilion resmi, solusi “karbon” dipromosikan oleh perusahaan pencemar. Fenomena yang oleh banyak pengamat disebut sebagai solusi palsu yang dicat hijau.
Komitmen nasional pun memprihatinkan, dimana hanya 23 persen energi terbarukan pada 2030 dan baru 72 persen pada 2060.
Sementara dunia meminta percepatan, Indonesia menyodorkan penundaan. Sementara ilmuwan menyerukan darurat, Indonesia menyerahkan kompromi.
Tambahan lagi, Indonesia bahkan tidak termasuk 82 negara yang mendukung penghentian energi fosil. Negara yang setiap tahun dihantam banjir, kebakaran hutan dan krisis air justru memilih diam di persimpangan sejarah.
Lebih pahit lagi riset CREA, CELIOS dan Trend Asia memperkirakan terdapat 156.000 kematian dini hingga 2050 akibat polusi PLTU yang paling berbahaya. Angka itu bukan statistic, ia adalah tubuh dan napas manusia.
Sementara itu, Papua dan Kalimantan tetap jadi wilayah yang membayar harga tertinggi, tapi paling sedikit didengar. Ketika negara bicara “transisi hijau”, Papua dan Kalimantan merasakan sebaliknya. Di dua wilayah inilah “solusi palsu” menemukan tubuhnya.
Di Papua, Food Estate dijual sebagai proyek pangan nasional. Tapi, faktanya ada 1,2 juta hektare hutan dialokasikan untuk pangan dan bioenergi, deforestasi 22.272 hektare terjadi hanya dalam 18 bulan, lima batalyon TNI baru ditempatkan untuk mengawal investasi, masyarakat Malind kehilangan tanah, sumber air dan kosmologi hidup.
Dokumen penelitian menyebutnya biopolitik mematikan, from letting die to making death, ketika pembangunan bukan lagi soal kesejahteraan, tetapi soal siapa yang boleh hidup dan siapa yang bisa dikorbankan.
Lalu di Kalimantan, hutan-hutan tua dibuka untuk IKN, tambang diperluas, sungai menghitam, tanah adat direbut perusahaan. Warga Dayak tidak membaca krisis iklim dari laporan COP, tetapi dari bau asap kebakaran, dari ikan yang hilang, dari anak-anak yang batuk sepanjang malam.
Di tempat-tempat inilah COP terasa paling jauh.
Ketika Dunia Berdebat, Rakyat yang Menanggung. Di Belem, negara-negara pulau kecil datang dengan proposal paling progresif agar dihentikan energi fosil 2040. Tetapi suara mereka tenggelam oleh negara kaya dan negara ekonomi besar. Brasil, sang tuan rumah, berdiri di tengah, dimana satu kaki di hutan Amazon, lain kaki di ladang minyak Petrobras.
Di luar ruang resmi, terjadi perlawanan yang tak terekam kamera. People’s Summit memamerkan dunia alternatif yang selama ini diabaikan COP, yakni agroekologi, ekonomi rakyat, solidaritas lintas benua, kedaulatan pangan, pertanian keluarga, perjuangan masyarakat adat Amazon, Andes, Kalimantan dan Papua.
Dari tenda-tenda rakyat itu terdengar kalimat yang lebih jujur daripada deklarasi resmi, “Kami tidak menunggu COP untuk menyelamatkan bumi. Kami sudah melakukannya.”
Ketika Negara tertidur, rakyat yang bangun. Ketika negara sibuk membicarakan karbon di ruangan ber-AC, rakyat kecil mengerjakan transisi nyata dengan tangan mereka sendiri. Di ufuk timur Indonesia, ada perempuan Malind membangun sasi adat untuk menghentikan Food Estate. Ada Perempuan Dayak menugal, menanam benih lokal, menjaga hutan. Nelayan mencatat perubahan gelombang yang tak lagi menuruti musim. Para pemuda desa memulihkan lahan gambut. Lalu, ada juga komunitas iman menyuarakan pertobatan ekologis. Sesungguhnya mereka bukan “penerima manfaat”. Mereka adalah penjaga kehidupan.
Inilah wajah dekolonisasi iklim dalam bentuk paling nyata dimana rakyat mengambil kembali kuasa moral yang telah diabaikan negara dan pasar.
Ada renungan sahabat insan menutup dengan pertanyaan yang tidak bisa dihindari, “Ketika bumi memanggil, apakah kita mendengarnya?”
Pertanyaan itu lebih kuat daripada seluruh perdebatan shall dan should dalam ruangan COP.
Karena krisis iklim bukan hanya persoalan ilmu, ekonomi atau kebijakan. Ia adalah krisis moral.
Solusi iklim tidak lahir dari angka, tetapi dari keberanian. Dari kemampuan negara untuk menolak kepentingan oligarki fosil. Dari kesediaan kita mengakui bahwa bumi tidak bisa diselamatkan dengan kosmetika kebijakan.
Dan kini COP30 telah usai sejak 21 November lalu. Delegasi telah pulang. Spanduk-spanduk hijau telah dilepas. Gedung konvensi kembali sunyi. Tetapi krisis tetap tinggal bersama kita, di ladang, di hutan, di tubuh anak-anak dan di sungai yang surut.
Indonesia kini berada di persimpangan. Kita bisa terus menunda atau kita bisa memilih jalan pulang, jalan rakyat, jalan agroekologi, jalan kebenaran ekologis.
Kedaulatan iklim bukan lahir dari pidato pejabat, tetapi dari keberanian negara mendengarkan bumi dan mendengarkan rakyatnya.
Karena pada akhirnya, bumi tidak berubah oleh diplomasi, tetapi oleh tindakan. Dan kini, setelah semua kata di Belém menguap, tinggal satu pertanyaan yang tersisa, apakah ada keberanian untuk menjawab panggilan bumi?
*Pegiat JPIC Kalimantan