Oleh: Sani Lake
Dari Kebun Kecil ke Piring Anak. Diceritakan di sebuah keluarga sederhana di Barito Timur, Kalimantan Tengah, seorang ibu bernama Maria setiap pagi berjalan ke pekarangan kecilnya. Di sana tumbuh kangkung, bayam, tomat, cabai, dan beberapa batang pisang. Maria tidak pernah khawatir jika tidak punya uang ke pasar, karena kebun kecil itu sudah cukup memberikan lauk segar untuk keluarganya. Anaknya berangkat sekolah dengan perut terisi nasi jagung dan sayur bening kangkung, ditemani telur ayam kampung. Mereka tumbuh sehat dan jarang sakit.
Sementara tetangganya yang memilih jalan instan, memberi anaknya mie instan hampir setiap hari. Mungkin terlihat praktis, tetapi anak itu sering batuk, mudah lelah, dan tubuhnya lebih pendek dari teman-temannya. Dari sini terlihat jelas, pangan dari tanah sendiri adalah sumber kesehatan yang tak tergantikan.
Potret MBG, Kenyang tapi Rapuh. Program Makan Gizi Sehat (MBG) yang digadang pemerintah sering hadir dalam bentuk makanan massal. Di banyak sekolah dasar, anak-anak menerima nasi kotak atau bungkus selain paket biskuit fortifikasi. Mereka gembira memakannya, tetapi besoknya kembali lapar dan sebagian terindikasi kena racun. Di Papua, misalnya ada paket MBG bahkan berisi mie instan dan beras impor. Sagu, ubi, pisang, dan keladi, makanan leluhur mereka, terpinggirkan.
Angka stunting tetap tinggi, 37,2 persen di Boven Digoel, 23,7 persen di Merauke. Konsumsi vetsin mencapai 55 gram per bulan per orang, dan mie instan empat bungkus per orang per bulan. Kenyang memang tercapai, tetapi tubuh rapuh dan otak tak berkembang optimal. Apakah ini yang disebut jalan menuju generasi sehat?
Luka Food Estate, Dari Hutan Hilang ke Generasi Hilang. Di Merauke, tanah adat Marind dibabat habis untuk proyek food estate. Hutan sagu hilang, padahal selama ratusan tahun masyarakat hidup dari sagu, kelapa, pisang, dan umbi. Kini tanah mereka berubah menjadi lahan industri padi dan tebu. Bersamaan dengan itu, lahirlah konflik, deforestasi, dan militerisasi. Seperti dikatakan Dr Budi Hernawan, proyek pangan masal ini dijalankan dengan logika kolonial dan militeristik, bukan hanya menghancurkan alam, tetapi juga mencabut akar kehidupan masyarakat lokal.
Namun luka food estate tidak hanya terjadi di Papua. Kalimantan Tengah pun mengalami hal serupa. Proyek food estate yang dicanangkan di kawasan eks-PLG (Pengembangan Lahan Gambut) membuka kembali luka lama, ratusan ribu hektare gambut yang dulu gagal digarap, kini kembali dipaksa ditanami padi skala besar. Hasilnya, kebakaran hutan dan lahan semakin sering, ekosistem rawa gambut hancur, dan masyarakat Dayak kehilangan ruang hidupnya.
Di Desa Luwukuan dan sekitarnya, lahan adat yang semestinya menjadi sumber rotan, ikan, dan tanaman obat, kini ditimbun untuk sawah proyek negara. Padahal tanah gambut rapuh, ia menyimpan karbon, bukan untuk diinjak bajak. Akibatnya, panen gagal, air keruh, dan udara dipenuhi asap.
Laksmi A Savitri menyebut food estate sebagai “strategi lama yang gagal dalam kemasan baru.” Sementara Vandana Shiva menegaskan, masa depan pangan bukan pada korporasi, tetapi pada keluarga dan petani. Suara-suara ini menggema seperti peringatan keras, jika kita salah arah, yang hilang bukan hanya hutan, melainkan satu generasi, baik di Papua maupun di Kalimantan.
Kebun Keluarga: Jalan Pulang yang Menyelamatkan. Namun, masih ada harapan. Di Yogyakarta, komunitas urban farming membuktikan bahwa halaman sempit pun bisa ditanami sayuran. Mereka memasok sekolah-sekolah dengan sayur organik segar, sekaligus mengajarkan anak-anak tentang pentingnya menanam. Di Kalimantan Tengah, kelompok Dayak kembali membangun ladang organik berbasis Huma Betang. Mereka percaya, menjaga ladang berarti menjaga anak cucu.
Di sebuah desa di Barito Timur, ibu-ibu tani memulai “kebun gizi” di pekarangan. Awalnya hanya untuk konsumsi keluarga, tetapi kini hasil panen dibagi ke posyandu. Anak-anak yang dulu hanya mendapat biskuit kini makan sayur segar dan telur kampung. Ibu-ibu menyiapkan bahkan snack organic ke sekolah anak-anaknya. Kesehatan anak-anak meningkat, dan keluarga merasa dihargai.
Lebih jauh, kebun keluarga juga menjadi ruang pendidikan yang tak tertulis. Anak-anak belajar mengenal nama tanaman, membedakan rasa sayur segar dengan makanan pabrikan, bahkan ikut menanam dengan tangan mereka sendiri. Dari tanah dan lumpur, mereka belajar nilai kerja keras, kesabaran, dan cinta pada alam. Nilai ini jauh lebih berharga daripada sekadar menerima paket makanan instan yang habis dalam sekali makan.
Selain itu, kebun keluarga memberi rasa aman pada orang tua. Mereka tahu, apapun yang terjadi dengan harga pasar atau krisis pangan, selalu ada sayur di pekarangan, ubi di ladang, atau ikan di kolam kecil belakang rumah. Dari rasa aman itu lahir ketenangan, dan dari ketenangan itu tumbuh generasi yang sehat secara fisik maupun mental.
Generasi Sehat, Lebih dari Sekadar Gizi. Generasi sehat bukan hanya soal tinggi badan atau berat badan ideal. Generasi sehat adalah mereka yang tumbuh dengan tubuh kuat, pikiran jernih, dan jiwa penuh cinta. Dari dapur keluarga, anak-anak belajar arti kebersamaan. Mereka tahu bahwa nasi yang dimakan lahir dari peluh ayah di ladang, sayur dari tangan ibu yang sabar menanam, dan telur dari ayam yang mereka beri makan bersama. Dari proses sederhana ini, lahir penghargaan pada kerja, rasa syukur, dan hormat pada kehidupan.
Makanan rumah bukan sekadar isi perut. Ia adalah cerita, doa, dan warisan. Setiap bumbu punya kisah, setiap piring punya makna. Dari lauk sederhana, anak belajar bahwa keberlimpahan tidak selalu diukur dengan uang, tetapi dengan kasih yang tertuang di meja makan. Di sinilah tertanam rasa hormat pada tanah yang memberi kehidupan, pada benih yang diwariskan, dan pada air yang menyuburkan. Sebaliknya, makanan instan hanya memberi rasa asin-gurih sesaat, tanpa cerita, tanpa ikatan, kosong dari makna, rapuh di dalam tubuh.
Lebih jauh, generasi sehat adalah generasi yang lahir dari hubungan harmonis antara tubuh, jiwa, dan alam. Mereka tidak hanya tumbuh dengan tulang kuat, tetapi juga dengan mental yang tenang dan rasa sosial yang kuat. Anak-anak yang dibesarkan dengan pangan rumah lebih mampu menghadapi tantangan hidup, lebih kreatif, dan lebih peduli pada lingkungannya. Inilah generasi yang tidak mudah diombang-ambingkan pasar, tidak mudah diperbudak oleh iklan, karena mereka tahu akar hidup mereka adalah dapur keluarga, kebun kecil dan cinta yang membesarkan.
Jalan Kebijakan, Dari Anggaran Boros ke Investasi Hidup. Bayangkan jika miliaran rupiah anggaran MBG yang kini habis untuk mie instan, biskuit fortifikasi dan paket pangan sekali makan, sudah seyogyanya dialihkan untuk membiayai kebun keluarga di sepuluh ribu desa. Setiap desa memiliki bank benih yang menjaga varietas lokal, posyandu gizi yang bukan sekadar tempat timbang bayi tapi juga ruang belajar memasak pangan sehat, serta sekolah keluarga sehat yang mengajarkan praktik menanam organik sejak dini. Hasilnya bukan hanya perut kenyang, melainkan tubuh anak-anak yang kuat, otak yang cerdas, dan budaya pangan yang hidup serta berakar pada tanah sendiri.
Kebijakan ini bukanlah mimpi utopis. Ia nyata, sederhana, dan terbukti di banyak komunitas yang sudah berjalan dengan modal swadaya. Bedanya, mereka bergerak dengan keterbatasan, sementara negara memiliki anggaran besar. Pertanyaannya: mengapa dana publik harus terus dipakai untuk menghidupi industri pangan instan, sementara keluarga justru makin jauh dari dapurnya? Sudah saatnya negara berpihak pada rakyat dengan menginvestasikan uangnya pada hal yang berlipat ganda manfaatnya, tanah, benih, dan keluarga.
Pemerintah hanya perlu keberanian untuk mengubah arah. Dari logistik instan menuju investasi hidup. Dari konsumsi massal menuju produksi sehat di rumah tangga. Dari kebijakan yang mencetak sampah plastik menuju kebijakan yang mencetak generasi berdaulat. Inilah momen penting: dari dapur keluarga lahir generasi sehat, dari ladang keluarga lahir kedaulatan bangsa. Menunda langkah ini sama artinya membiarkan satu generasi hilang.
Pangan adalah Cinta. Pada akhirnya, pangan bukan sekadar kalori. Ia adalah kisah cinta keluarga. Dari tanah yang ditanami, dari benih yang dijaga, dari dapur yang berasap. Anak-anak yang tumbuh dari pangan sehat lalu akan menjadi generasi yang kuat menghadapi masa depan.
Vandana Shiva mengungkapakn, ‘The future of food is in the hands of families and farmers, not corporations.‘ Kutipan ini menegaskan kembali, bahwa masa depan bangsa ada di tangan keluarga. Dari kebun kecil di pekarangan, dari piring sederhana di meja makan, kita sedang menyiapkan generasi sehat, cerdas, dan berdaulat.
Penulis adalah pegiat JPIC Kalimantan