Oleh: Sani Lake*
Krisis iklim bukan lagi sekadar isu global di ruang konferensi. Ia sudah mengetuk pintu rumah kita: banjir yang makin sering, udara panas ekstrem, kebakaran hutan yang sulit dipadamkan. Di tengah situasi ini, muncul berbagai janji hijau—net zero, pasar karbon, biofuel, geo-engineering. Namun, di balik jargon tersebut, ada wajah lain yang jarang dibicarakan: imperialisme iklim. Istilah ini menggambarkan bagaimana solusi palsu justru memperdalam ketidakadilan, terutama bagi masyarakat adat.
Apa itu imperialisme iklim?
Imperialisme iklim adalah bentuk kolonialisme baru. Dulu tanah dijarah untuk rempah, emas, dan minyak; kini hutan dan laut direbut untuk menyerap karbon. Melalui skema carbon offset, perusahaan di negara maju tetap bebas membakar energi fosil asalkan di tempat lain ada hutan yang dikunci sebagai proyek karbon. Masalahnya, hutan itu biasanya tanah adat. Tanah dan hutan bagi masyarakat adat bukan hanya sumber ekonomi, tapi juga pusat kehidupan sosial, budaya, dan spiritual. Dengan kata lain, imperialisme iklim menutupi polusi di satu tempat dengan mengorbankan hak hidup di tempat lain.
Solusi palsu yang sering dijual
Ada Pasar Karbon dimana lahan adat dipasangi label penyerap karbon lalu ditutup aksesnya. Warga yang biasa mencari pangan atau obat di hutan tiba-tiba dianggap melanggar hukum. Ada juga Biofuel Skala Industri dengan mengatasnamakan energi hijau, jutaan hektar hutan ditebang untuk sawit, jagung, atau tebu. Emisi justru meningkat, sementara masyarakat kehilangan ruang hidup. Dan di sisi lain ada Geo-engineering sebagai eksperimen iklim global seperti menyemprot partikel ke atmosfer dipromosikan sebagai terobosan. Ini risikonya besar, dan komunitas rentan yang akan paling terdampak.
Seperti ditulis Naomi Klein, bahwa solusi semacam ini hanyalah izin baru untuk terus merusak.
Siapa yang jadi korban?
Masyarakat adat adalah korban utama dari imperialisme iklim. Di Filipina, ribuan keluarga kehilangan lahan akibat proyek biofuel. Di Afrika, hutan adat dipagari untuk REDD+. Dan di Indonesia, khusus tanah Dayak dijadikan konsesi industri hutan karbon. Ironisnya, laporan IPCC menunjukkan 80% keanekaragaman hayati dunia berada di wilayah adat. Sementara sesungguhnya masyarakat adat terbukti paling sukses menjaga bumi, namun mereka justru paling sering tersingkir atas nama ‘penyelamatan iklim’.
Bahaya bagi semua orang
Dari sini kita belajar, imperialisme iklim bukan hanya soal ketidakadilan lokal, tapi ancaman global. Pertama, solusi palsu tidak benar-benar mengurangi emisi – ia hanya memindahkan angka di atas kertas. Dan Kedua, solusi palsu menyedot dana dan energi politik yang seharusnya dipakai untuk transisi energi adil. Hasilnya adalah dunia tetap terjebak dalam ketergantungan pada fosil, sementara korporasi besar terus nyaman.
Solusi sejati ada di komunitas
Solusi sejati justru ada pada masyarakat adat. Mereka telah berabad-abad membangun praktik hidup yang selaras dengan alam: seperti Sasi di Maluku: aturan adat melarang mengambil hasil laut pada waktu tertentu. Atau Parak di Sumatera Barat dimana hutan rakyat dikelola kolektif melalui sistem agroforestri. Atau juga ladang berpindah Dayak yang mengunggulkan siklus bertani yang memberi waktu hutan untuk pulih. Praktik-praktik ini justru menjaga keseimbangan ekologis dan membuktikan bahwa pengetahuan lokal adalah kunci adaptasi iklim.
Solidaritas lintas batas
Perlawanan terhadap imperialisme iklim hadir di banyak belahan dunia. Di Standing Rock, masyarakat Sioux menolak pipa minyak Dakota. Di Amazon, komunitas adat berjuang melawan deforestasi. Di Kalimantan, masyarakat adat menolak konsesi industri karbon. Gerakan global seperti La Via Campesina menegaskan pentingnya kedaulatan pangan – hak rakyat menentukan sistem produksi sendiri. Pesan mereka jelas: tanpa keadilan, tidak ada solusi iklim.
Imperialisme iklim ini lalu memaksa kita bertanya, siapa yang sebenarnya diselamatkan dan siapa yang dikorbankan? Jika jawabannya hanya korporasi besar dan elit politik, jelas itu jalan buntu. Solusi sejati terletak pada penghormatan hak masyarakat adat, keberanian membangun transisi energi yang adil, dan solidaritas global. Bumi tidak butuh proyek hijau semu – ia butuh keberanian kolektif untuk menghormati manusia dan alam.
*Penulis adalah pegiat JPIC Kalimantan
Referensi :
¹ Naomi Klein, *This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate* (2014).
² IPCC, *Sixth Assessment Report* (2022), Bab Adaptasi dan Pengetahuan Lokal.
³ La Via Campesina, *Food Sovereignty for Climate Justice* (2021).