HumaNusantara.com
Fakta Terpercaya dari Nusantara

Resensi Buku Novel

Suara Bisu Perempuan: Suara yang Tak Lagi Bisa Dibungkam

0

Oleh: Sani Lake

“Kami bukan hanya buruh di perkebunan sawit. Kami adalah ibu, peladang, penjaga tanah, penjaga bahasa, penjaga hidup.”

“Suara Bisu Perempuan” adalah kisah nyata dalam balutan fiksi. Tentang perempuan-perempuan Dayak, Jawa, Papua, Banjar dan Flores yang tak lagi diam. Mereka bersuara, melawan, bertahan, dan saling menguatkan di tengah ancaman sawit dan pembangunan yang melukai tanah dan tubuh mereka.

Inilah suara yang menggetarkan dari novel *Suara Bisu Perempuan*, sebuah karya yang tidak hanya menyentuh, tetapi juga mengguncang kesadaran tentang bagaimana tubuh, tanah dan suara perempuan seringkali dikorbankan atas nama pembangunan dan kemajuan ekonomi.

Judul    : Suara Bisu Perempuan

Genre   : Fiksi Sosial, Realisme Perempuan,

Ekofeminisme

Terbit   : 2025 (Edisi Revisi)   Penulis dan Penerbit: Tim Progress Kalimantan Tengah
Tebal: ±100 halaman

Menggambarkan Luka yang Nyata

Novel ini terdiri dari delapan bab dan satu epilog dalam bentuk *Manifesto Suara Perempuan*. Setiap bab membawa pembaca masuk ke dalam kisah-kisah perempuan dari berbagai latar etnis Dayak, Banjar, Jawa transmigran, Papua, hingga Flores, yang hidup di bawah bayang-bayang industri sawit dan pembangunan eksploitatif di Kalimantan Tengah.

Mulai dari kisah Sila yang kehilangan bahasa dan tanah leluhurnya, hingga Miyu yang menolak direduksi sebagai “tenaga kerja” semata, semuanya disampaikan melalui potongan kehidupan yang realistis, getir dan menyentuh.

Tema Kuat: Ekofeminisme dan Perlawanan
*Suara Bisu Perempuan* tidak sekadar menyuarakan penderitaan. Novel ini merajut hubungan erat antara tubuh perempuan dan alam. Ketika hutan dibabat, tanah diracuni dan air dirampas, maka tubuh perempuan juga ikut menderita. Tetapi dari luka itu lahirlah solidaritas.
Solidaritas antar-generasi dan antar-komunitas menjadi titik balik novel ini. Mereka tak hanya bersuara, mereka juga membentuk jejaring perlawanan, membangun sekolah benih, ladang bersama.

Kelebihan Buku Ini

Buku ini mengangkat suara perempuan akar rumput yang sering tak terdengar dalam diskursus publik. Multikultur dan lintas generasi yang ditampilkan memberikan nuansa kebhinekaan dari Kalimantan yang sering diseragamkan. Selain itu bahasa yang reflektif dan membumi, cocok untuk pembaca umum maupun aktivis.

Catatan Kritis

Dalam buku novel ini terdapat beberapa tokoh muncul hanya sebentar, tidak mendapatkan ruang pengembangan yang cukup. Seandainya diusung tokoh kunci yang mewarnai novel dari awal hingga akhir itu akan menjadi lebih lengkap.  Struktur ceritanya lebih seperti kumpulan potret pendek daripada alur novel konvensional. Dialog dalam beberapa bagian masih terasa “menjelaskan” alih-alih mengalir secara natural. Bila ada epilog dalam bentuk Manifesto akan menjadikan karya ini bukan hanya fiksi, tapi juga alat advokasi dan pendidikan komunitas yang sangat berarti.

Namun kekuatan naratif, konteks lokal yang kuat, serta keberanian mengangkat suara minoritas menjadikan kelemahan-kelemahan ini tak terlalu menonjol.

Relevansi dan Rekomendasi

Di tengah krisis iklim, konflik agraria, dan marginalisasi gender, buku ini menjadi bacaan penting. Cocok untuk:

– Komunitas perempuan dan NGO di lapangan
– Mahasiswa dan akademisi studi gender, agraria, dan sastra

– Jurnalis, pegiat literasi, dan aktivis lingkungan
– Pembaca umum yang peduli pada keadilan sosial dan suara perempuan

Suara Itu Tak Lagi Bisu

Penulis menutup novelnya dengan kutipan yang menggugah:

“Kami tak ingin dunia dikembalikan kepada kami. Tapi kami ingin dunia dibangun ulang bersama-sama, di atas luka, harapan, dan suara yang tak pernah mati.”

Dengan narasi yang tajam, puitis, dan berakar dalam realitas Kalimantan, novel ini bukan hanya patut dibaca, tetapi juga didiskusikan, disebarkan, dan dijadikan inspirasi gerakan.

 

 

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.