Dua Jalan Menuju Masa Depan Pangan dan Pertanian

Vandana Shiva dan Pertarungan Masa Depan Pangan Dunia

Oleh: Sani Lake

Pertanian dan pangan adalah fondasi peradaban manusia. Dari ladang-ladang kecil di desa hingga rantai pasok global yang kompleks, pangan menentukan keberlangsungan hidup umat manusia. Namun hari ini, sistem pangan dunia berdiri di sebuah persimpangan jalan yang krusial. Di satu sisi, ada jalan lama yang sudah ditempuh sejak Revolusi Hijau tahun 1960-an, yakni pertanian industri berbasis input kimia, mekanisasi besar-besaran dan pasar global. Jalan ini menjanjikan produktivitas tinggi dan modernitas, tetapi membawa dampak yang semakin terlihat, kerusakan lingkungan, hilangnya keanekaragaman hayati, dan ketidakadilan sosial.

Di sisi lain, ada muncul jalan baru atau lebih tepatnya jalan lama yang dihidupkan kembali, Namanya, agroekologi. Agroekologi itu berakar pada pengetahuan lokal, diversifikasi tanaman, dan keterhubungan erat antara manusia dengan alam. Ia bukan sekadar metode teknis, melainkan paradigma baru yang mengutamakan keadilan, keberlanjutan dan kedaulatan komunitas atas pangan.

Vandana Shiva, aktivis lingkungan dan pemikir asal India menegaskan bahwa masa depan dunia bergantung pada jalan mana yang kita pilih. Apakah kita terus mengikuti logika kapitalistik yang menempatkan pangan sebagai komoditas semata, atau kita berani mengambil langkah berdaulat dengan mengembalikan pangan kepada rakyat? Dia lalu mendeskripsikan dua jalan seperti berikut:

Jalan Pertama: Industri Pertanian dan Krisis yang Ditimbulkannya. Industri Pertanian berkembang pesat sejak pertengahan abad ke-20. Revolusi Hijau membawa benih hibrida, pupuk kimia, dan pestisida yang meningkatkan produksi secara dramatis. Namun di balik “keajaiban” itu, tersimpan krisis yang semakin membesar.

Monokultur dan Degradasi Tanah. Pertanian industri menuntut keseragaman. Jagung, gandum, kedelai, dan kelapa sawit ditanam dalam skala jutaan hektare. Pola monokultur ini menguras kesuburan tanah, membunuh mikroba yang menjaga ekosistem, dan membuat tanah bergantung pada pupuk sintetis. Dalam jangka panjang, lahan menjadi rusak, miskin nutrisi, bahkan mati.

Paten Benih dan Kontrol Korporasi. Perusahaan agribisnis global mematenkan benih hasil rekayasa genetika. Akibatnya, petani yang dulu bisa menyimpan benih dari panen kini dipaksa membeli setiap musim. Tradisi ribuan tahun menyemai dan menukar benih lokal terhapus, lalu digantikan oleh kontrak legal yang menguntungkan segelintir korporasi.

Krisis Sosial dan Ekonomi. Dimana industri pertanian memarginalkan petani kecil. Harga pangan ditentukan pasar global, sementara petani lokal sering terjebak dalam utang karena membeli pupuk dan benih. Negara-negara berkembang bergantung pada impor, sehingga rentan terhadap fluktuasi harga internasional.

Dampak Kesehatan dan Lingkungan. Pangan industri sering terkontaminasi pestisida, menimbulkan risiko kesehatan. Polusi air, udara, dan tanah akibat bahan kimia pertanian juga memperburuk krisis ekologis. Tak heran, Vandana Shiva menyebut pertanian industri sebagai jalan menuju kehancuran.

Jalan Kedua adalah Agroekologi dan Kedaulatan Pangan. Sebagai alternatif, agroekologi menawarkan jalan pulang. Agroekologi adalah ilmu, praktik, sekaligus gerakan sosial.

Ilmu. Agroekologi menekankan interaksi ekologi dalam pertanian, dimana ada rotasi tanaman, integrasi ternak, pemupukan organik dan pemanfaatan biodiversitas. Prinsipnya adalah meniru alam, bukan melawannya. Bekerjasama dengan alam bukan menyingkirkannya.

Praktik. Petani agroekologi menggunakan kompos alami, pestisida nabati, dan benih lokal yang adaptif terhadap iklim setempat. Mereka menanam beragam tanaman, sehingga lebih tahan terhadap serangan hama atau perubahan cuaca.

Gerakan. Agroekologi juga berarti memperjuangkan kedaulatan pangan. Pangan dipandang sebagai hak asasi, bukan komoditas. Benih lokal dipertahankan sebagai warisan budaya. Pasar petani, koperasi pangan, dan komunitas lokal menjadi bagian dari sistem yang lebih adil.

Contoh nyata datang dari India melalui gerakan Navdanya yang didirikan Vandana Shiva. Di sana, petani dilatih menyimpan benih lokal, bertani organik dan membangun jaringan pasar alternatif. Di Amerika Latin, gerakan agroekologi tumbuh pesat melalui jaringan La Via Campesina. Di Indonesia, prakarsa sekolah lapang agroekologi di Kalimantan dan NTT menunjukkan bahwa pendekatan ini relevan untuk petani kecil.

Momentum untuk Berubah. Itu ditandai dengan krisis global beberapa tahun terakhir yang membuka mata kita bahwa sistem lama sudah rapuh, dan itu antara lain:

Pandemi Covid-19. Saat transportasi global terhenti, rak supermarket di kota besar kosong. Negara yang bergantung pada impor panik. Sebaliknya, komunitas yang punya kebun lokal tetap bisa makan.

Krisis Iklim. Kekeringan panjang, banjir bandang, badai, dan kebakaran hutan membuat produksi pangan tidak menentu. Pertanian industri justru penyumbang emisi gas rumah kaca, memperparah situasi.

Krisis Ekonomi. Fluktuasi harga pangan global menyebabkan gejolak sosial. Di banyak negara, protes pecah karena harga gandum atau beras melonjak.

Semua ini menunjukkan bahwa sistem pangan global berbasis industri tidak lagi memadai. Krisis harus dijadikan momentum untuk beralih ke sistem yang lebih tangguh: agroekologi berbasis komunitas lokal.

Vandana Shiva Kemudian Memunculkan Visinya tentang Demokrasi Bumi. Ia memperkenalkan konsep Earth Democracy atau “Demokrasi Bumi”. Gagasannya itu sederhana tapi radikal, yaitu bumi adalah entitas hidup yang punya hak. Hutan, tanah, air dan benih bukan sekadar sumber daya, tetapi bagian dari jaringan kehidupan yang harus dihormati.

Dalam demokrasi bumi, keputusan tentang pangan tidak boleh didikte oleh korporasi global, melainkan oleh komunitas lokal. Petani kecil adalah aktor utama, bukan sekadar buruh. Perempuan diberi ruang lebih luas karena mereka penjaga utama benih dan pangan keluarga.

Demokrasi bumi juga menekankan keadilan sosial. Tidak boleh ada kelompok yang dipinggirkan, baik itu masyarakat adat, perempuan, maupun generasi muda. Semua memiliki hak yang sama untuk menentukan masa depan pangan.

Bagaimana relevansi untuk Indonesia? Sebagai negara agraris, Indonesia berada di pusat pertarungan ini.  Ketergantungan impor. Meski subur, Indonesia masih bergantung pada impor kedelai, gandum, gula, dan bawang putih. Ini membuat bangsa rentan terhadap krisis global.

Hilangnya Benih Lokal. Benih padi lokal digantikan varietas hibrida atau impor. Bank benih komunitas masih jarang.

Deforestasi. Ada juga hutan dibabat untuk kelapa sawit atau tambang, mengancam ekosistem dan sumber pangan lokal.

Gerakan Perlawanan. Di Kalimantan Tengah, petani Dayak membangun sekolah lapang agroekologi. Di NTT, komunitas menjaga benih jagung titi. Di Jawa, gerakan pangan lokal seperti beras organik semakin kuat.

Artinya, Indonesia punya modal besar untuk memilih jalan kedua. Namun diperlukan kebijakan nasional yang tegas, mendukung petani kecil, melindungi benih lokal dan memperkuat pasar komunitas.

Two Paths to the Future of Food and Farming adalah seruan keras Vandana Shiva, saatnya dunia harus memilih. Atau pada jalan pertama, pertanian industri, membawa krisis ekologis, sosial, dan kesehatan. Atau jalan kedua, agroekologi, yang menawarkan harapan, keberlanjutan dan keadilan.

Krisis hari ini bukan akhir, tetapi awal transformasi. Pandemi, krisis iklim, dan gejolak ekonomi harus menjadi pemicu perubahan. Pilihan ada di tangan kita: pemerintah, petani, konsumen,dan komunitas.

Masa depan pangan dunia tidak ditentukan oleh korporasi raksasa, tetapi oleh jutaan tangan kecil yang menanam, merawat dan berbagi. Pangan adalah kehidupan. Dan menjaga pangan berarti menjaga bumi. Menjaga bumi, berarti, sudah menjaga diri kita dan masa depan.

Penulis adalah Pegiat JPIC Kalimantan

Referensi

  1. Vandana Shiva, EcoFarm 2020 Keynote Speech: ‘Two Paths to the Future of Food and Farming’.
    2. Shiva, V. (2005). Earth Democracy: Justice, Sustainability, and Peace. South End Press.
    3. Shiva, V. (2016). Who Really Feeds the World? The Failures of Agribusiness and the Promise of Agroecology. North Atlantic Books.
    4. Data kontekstual Indonesia: BPS, FAO, WALHI, dan laporan lingkungan hidup terbaru.
artikelDua Jalan Menuju Masa Depan Pangan dan PertanianSani Lake
Comments (0)
Add Comment