Oleh: Sani Lake
Bangsa Indonesia tengah berada dalam fase yang rawan. Gelombang demonstrasi mahasiswa, keresahan masyarakat sipil, dan maraknya kritik terhadap pemerintahan menandai adanya krisis kepercayaan publik. Kekecewaan itu tidak hanya lahir dari isu ekonomi atau politik, melainkan juga dari ketidakadilan struktural dan pola kekuasaan yang semakin jauh dari rakyat.
Dalam situasi ini, suara moral dari para tokoh bangsa menjadi penting. Pada 3 September 2025, Gerakan Nurani Bangsa (GNB) menggelar konferensi pers yang ditayangkan oleh KompasTV. Hadir di sana tokoh-tokoh lintas agama dan masyarakat sipil, antara lain Sinta Nuriyah Wahid dan Ignatius Kardinal Suharyo, yang menyampaikan seruan kebangsaan. Suara mereka mengingatkan bahwa bangsa ini hanya bisa diselamatkan jika kembali kepada nurani, etika, dan solidaritas kemanusiaan.
Lima Pesan Kebangsaan
GNB merumuskan lima pesan penting yang ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto dan seluruh elemen negara:1) Hentikan kekerasan terhadap rakyat. Demonstrasi adalah hak konstitusional, bukan ancaman bagi negara. 2) Pulihkan etika dan kepatutan. Institusi negara harus menjadi teladan moral. 3) Supremasi sipil atas militer. TNI dan Polri diingatkan kembali ke posisi konstitusional. 4) Bangun solidaritas, cegah anarki. Negara wajib mengelola perbedaan secara damai. 5) Libatkan seluruh elemen bangsa. Dari pemuka agama hingga akademisi harus dilibatkan menjaga persatuan bangsa. Pesan ini menegaskan bahwa solusi bangsa tidak bisa hanya teknokratis, tetapi harus menyentuh dimensi etika dan moral.
Suara Tokoh Bangsa
Beberapa tokoh bangsa yang berkumpul menyampaikan pesan penuh makna bagi bangsa ini, a.l. ada Sinta Nuriyah Wahid yang menyebutkan soal Hak Konstitusional Rakyat. Istri almarhum Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), menegaskan: “Demonstrasi adalah hak konstitusional rakyat yang tidak boleh dibalas dengan kekerasan.” Baginya, negara justru harus menjamin ruang aman bagi ekspresi rakyat. Ia juga menekankan pentingnya kepatutan dan kesederhanaan pejabat, agar pemerintah kembali dipercaya.
Sementara itu, dari Gereja Katolik, Kardinal Suharyo menyerukan pentingnya ‘Tobat Nasional’. Beliau menegaskan perlunya ‘tobat nasional’, yakni pengakuan atas kesalahan oleh lembaga negara. Eksekutif, legislatif dan yudikatif semua dinilai memiliki andil dalam menciptakan krisis saat ini. Seruan ini mengandung makna spiritual sekaligus politis, yaitu sebuah bangsa tidak bisa maju tanpa kejujuran moral. Ia juga menegaskan agar masukan akademisi didengar karena mereka berpijak pada cinta tanah air, bukan kepentingan politik.
Menyikapi Tuntutan Rakyat: 17+8
Belakangan, publik mengenal adanya 17+8 tuntutan rakyat yang diajukan oleh berbagai kelompok sipil. Tuntutan ini mencerminkan kekecewaan mendalam terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap melenceng dari cita-cita sila ke-5 Pancasila, yaitu keadilan sosial.
Gerakan Nurani Bangsa menilai tuntutan itu bukan sekadar ekspresi marah, melainkan aspirasi serius yang harus ditanggapi dengan konkret. Presiden diminta memimpin langsung respons atas tuntutan tersebut, bukan sekadar menugaskan bawahan. Jika aspirasi rakyat terus diabaikan, krisis legitimasi bisa semakin parah. Dan itu akan beresiko bagi bangsa dan negara ini kedepan.
Krisis Kepercayaan Publik
Konferensi pers GNB ini lahir dari situasi krisis kepercayaan publik yang kian nyata. Gejalanya dapat dilihat dari: Kekecewaan terhadap elite politik. Hidup mewah pejabat di tengah penderitaan rakyat menciptakan jurang sosial. Kekerasan aparat terhadap demonstran. Aksi represif memperburuk luka sosial. Minimnya ruang dialog. Rakyat merasa suaranya tidak didengar. APBN yang tidak transparan. Anggaran dinilai lebih banyak menguntungkan elite daripada rakyat. Ini merupakan sebuah krisis, yaitu krisis kepercayaan yang menunjukkan bahwa tantangan bangsa Indonesia hari ini bukan sekadar ekonomi, tetapi persoalan legitimasi politik dan moral.
Jalan Keluar, dari Krisis Menuju Reformasi
Gerakan Nurani Bang menyerukan lima point penting kepada penyelenggara negara. Pertama, Evaluasi Pejabat Publik. Ini jadi langkah pertama yaitu membangun kembali kepercayaan rakyat melalui akuntabilitas pejabat publik. Evaluasi menyeluruh perlu dilakukan terhadap pejabat yang gagal menjalankan tugas atau terlibat dalam praktik korupsi, nepotisme dan penyalahgunaan kewenangan. Mengapa ini penting? Karena krisis kepercayaan muncul dari gaya hidup mewah, privilese berlebihan, dan perilaku arogan pejabat. Lalu bagaimana caranya? Melalui audit publik, penguatan lembaga pengawas (KPK, BPK, Ombudsman), serta keterlibatan masyarakat sipil dalam memberi masukan. Dampak positifnya adalah mengembalikan keyakinan bahwa pejabat public benar-benar bekerja untuk rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Kedua, Transparansi APBN. APBN adalah wajah nyata arah kebijakan negara. Ketertutupan dan alokasi yang timpang memperburuk jurang sosial. Masalah utama: Anggaran sering tersedot ke fasilitas pejabat atau proyek mercusuar, sementara kebutuhan rakyat (pendidikan, kesehatan, pangan) diabaikan. Langkah reformasi: Publikasi APBN dalam format yang mudah dipahami, pelibatan masyarakat sipil dalam pengawasan, dan sistem ‘open budget’ berbasis digital. Hasil yang diharapkan adalah rakyat bisa mengawasi langsung ke mana uang pajaknya digunakan, sehingga mengurangi peluang korupsi dan salah alokasi.
Ketiga, Reformasi Aparat Keamanan. Salah satu pemicu krisis kepercayaan adalah kekerasan aparat terhadap demonstran. Permasalahannya adalah polisi sering dipandang sebagai alat represi, bukan pelindung rakyat. Sementara TNI kadang masuk ke ranah sipil di luar tugas konstitusional. Agenda reformasi mestinya ada profesionalisasi TNI dan Polri berjalan sesuai mandat UUD 1945, perlunya pembekalan serius tentang HAM dan demokrasi untuk apparat, dilakukan mekanisme akuntabilitas ketika terjadi pelanggaran (misalnya polisi atau tentara yang melakukan kekerasan diproses secara transparan). Hasil yang diharapkan adalah aparat kembali menjadi pengayom, bukan sumber ketakutan ataupun memanfaatkan kesempatan membangun citra politik.
Keempat, Dialog dengan Rakyat. Kebuntuan komunikasi membuat jarak negara–masyarakat semakin lebar. GNB menekankan pentingnya membangun dialog yang terbuka dan setara. Contoh konkretnya, perlu ada forum konsultasi publik, dengar pendapat dengan mahasiswa, petani, buruh, dan masyarakat adat. Prinsip utamanya adalah dialog harus sejajar, rakyat bukan sekadar pendengar, melainkan subjek yang didengar. Dan hasilnya adalah aspirasi rakyat masuk ke kebijakan, mengurangi rasa frustasi, serta mencegah eskalasi konflik di jalanan.
Kelima, Budaya Politik Etis. Inti dari semua reformasi adalah mengembalikan politik pada etika. Masalah yang ada: Politik sering dipenuhi praktik transaksional, nepotisme, dan simbolisme tanpa substansi. Langkah pembenahan: Teladan dari elite: hidup sederhana, menolak privilese berlebihan. Pendidikan politik rakyat yang menekankan nilai integritas. Partai politik melakukan kaderisasi berbasis merit, bukan uang. Dampak jangka panjang adalah politik etis akan melahirkan kepemimpinan moral yang kuat, dan memperkuat demokrasi yang sehat.
Nah, kelima poin di atas ini bukan hanya agenda teknis, melainkan peta jalan moral untuk keluar dari krisis. Evaluasi pejabat, transparansi APBN, reformasi aparat, dialog dengan rakyat dan budaya politik etis adalah syarat minimum jika bangsa ini ingin bangkit dari krisis kepercayaan.
Gerakan Nurani Bangsa menegaskan bahwa tanpa reformasi etis, krisis akan terus berulang. Tapi bila langkah ini dijalankan, krisis justru bisa menjadi momentum lahirnya demokrasi yang lebih jujur, adil dan manusiawi
Dari Amarah ke Harapan
Konferensi pers ini memperlihatkan bahwa meski amarah rakyat menguat, harapan untuk perubahan tetap ada. Dari amarah lahir seruan untuk bertobat. Dan dari krisis muncul peluang memperbaiki fondasi demokrasi.
Namun, harapan itu hanya akan menjadi kenyataan jika pemerintah bersedia mendengar, mengakui kesalahan, dan bertindak berdasarkan nurani. Jika tidak, krisis kepercayaan bisa menjelma menjadi instabilitas politik yang lebih dalam.
Gerakan Nurani Bangsa menunjukkan bahwa di tengah kegaduhan politik, bangsa Indonesia masih memiliki penjaga nurani. Sinta Nuriyah, Kardinal Suharyo, dan tokoh-tokoh lainnya menegaskan bahwa negara tidak bisa bertahan hanya dengan kekuatan hukum atau senjata, tetapi harus berdiri di atas nilai moral, etika dan solidaritas kemanusiaan.
Pertanyaan terbesar bagi bangsa ini adalah apakah seruan nurani ini akan menjadi titik balik menuju rekonsiliasi, ataukah akan berlalu sebagai gema moral yang diabaikan?
*Pegiat JPIC Kalimantan
Dari Berbagai Sumber:
1. KompasTV. (2025). ‘BREAKING NEWS – Konpers Tokoh Bangsa Sinta Wahid hingga Kardinal Suharyo Respons Situasi Terkini’.
2. NU Online. (2025). ‘Gerakan Nurani Bangsa sambut positif 17+8 tuntutan rakyat’.
3. MediaKaltim. (2025). ‘Gerakan Nurani Bangsa sampaikan lima pesan kebangsaan untuk Presiden Prabowo’.