Kalimantan adalah wilayah penuh paradoks. Di satu sisi ia disebut sebagai paru-paru dunia dengan hutan tropis, sungai luas, dan kekayaan hayati yang melimpah. Namun di sisi lain, ia menjadi episentrum proyek ekstraktif: tambang, sawit, hingga food estate. Pertanyaan mendasar pun muncul: pembangunan untuk siapa? Tjilik Riwut (1958) sudah mengingatkan bahwa pembangunan sejati bagi Dayak adalah ‘penyatuan daya rohani, budaya, dan tanah air,’ bukan sekadar infrastruktur atau ekonomi. Gagasan ini sejalan dengan Chambers (1997) yang menekankan bahwa pembangunan sejati adalah ketika rakyat menjadi pusat. Inilah yang disebut People-Led Development (PLD), paradigma pembangunan yang dipimpin rakyat, bukan dipaksakan dari luar.
Kriteria PLD dalam Perspektif Dayak
Cornwall & Gaventa (2001) menyebutkan sembilan kriteria PLD: berbasis hak, kepemimpinan komunitas, pengetahuan lokal, keadilan gender-generasi, keberlanjutan ekologi, kedaulatan pangan, akuntabilitas sosial, transformasi struktural, dan refleksivitas. Namun dalam praktik Dayak, kriteria ini dimaknai secara khas; Nila Riwut (2003) menulis bahwa ‘tanah bagi Dayak bukan benda mati, melainkan tubuh kedua yang menyatu dengan jiwa.’ Kusni Sulang (2010) menegaskan bahwa musyawarah adat bukan sekadar voting, melainkan pencarian harmoni. Erika Siluq (2021) menekankan bahwa perempuan Dayak adalah penentu arah pangan dan politik ekologis. Dengan demikian, PLD Dayak berakar dalam kosmologi, bukan sekadar indikator teknis.
Memori Kolektif sebagai Infrastruktur Politik
Halbwachs (1992) menyebut memori kolektif sebagai konstruksi identitas sosial. Bagi Dayak, memori kolektif adalah arsip politik. Toponimi adat bukan sekadar nama, melainkan arsip sejarah. Marko Mahin (2019) menunjukkan bahwa peta nama tempat berfungsi sebagai bukti kepemilikan agraria. Alfianus Rinting (2017) menjelaskan bahwa ladang berpindah adalah teknologi regenerasi hutan, bukan perusakan. Kusni Sulang menambahkan: ‘Dayak membangun bukan untuk mengejar waktu, tetapi menjaga keseimbangan.’ Linda Tuhiwai Smith (1999) menekankan pentingnya dekolonisasi pengetahuan: memori menjadi senjata melawan narasi pembangunan kolonial.
Mobilisasi, Dari Ingatan ke Gerakan
Tarrow (1998) menegaskan bahwa mobilisasi sosial butuh identitas dan peluang politik. Dayak menerjemahkannya melalui; Mobilisasi kultural: upacara adat sebagai bahasa politik. Tjilik Riwut menulis, ‘Upacara adat bukan sekadar doa, melainkan deklarasi politik.’ Mobilisasi produksi: bank benih, sekolah agroekologi, pasar lokal. Teras Narang (2015) menegaskan bahwa pembangunan harus berbasis kedaulatan pangan. Mobilisasi advokasi: pemuda Dayak memanfaatkan media sosial sebagai balai adat baru (Erika Siluq, 2021).
Korten (1990) menyebut inilah inti people-centered development: rakyat membuktikan alternatif melalui praktik nyata.
Keterlibatan Sosial, Dari Gerakan ke Tata Kelola
Gerakan hanya bertahan jika dilembagakan. Musyawarah adat (*hapakat*) adalah ruang deliberatif. Alfianus Rinting menulis bahwa hapakat adalah pencarian harmoni maksimal, bukan kompromi minimal. Hukum adat kini dipadukan dengan peraturan desa, meski Kusni Sulang mengingatkan agar roh adat tidak direduksi menjadi pasal administratif. Marko Mahin mencatat bahwa audit sosial warga melahirkan kapasitas negosiasi baru di level lokal. Cornwall & Gaventa (2001) menegaskan partisipasi yang otentik adalah yang mampu mengubah relasi kuasa. Habermas (1962) berbicara tentang public sphere; dalam konteks Dayak, balai adat adalah bentuk indigenized public sphere yang memperlihatkan demokrasi deliberatif dalam wajah lokal.
Tantangan dan Peluang
PLD Dayak menghadapi tantangan: kooptasi elite adat, tokenisasi perempuan, NGO-isasi agenda, tekanan pasar global. Namun peluang besar juga hadir: Putusan MK 35/2012 tentang hutan adat, pengakuan agroekologi oleh FAO (2021), serta ruang digital yang membuka akses narasi. Nila Riwut menekankan agar adat tidak dijual murah sebagai komoditas budaya. Bebbington (1999) menyebut aset komunitas dan jaringan sosial sebagai kekuatan menghadapi tekanan global. Di sinilah PLD Dayak menjadi tawaran global: memadukan kekuatan lokal dengan jejaring transnasional.
Sebagai kesimpulan, PLD Dayak adalah modernitas berakar: kosmologi leluhur dipadukan dengan strategi modern. Erika Siluq menulis: ‘Bagi Dayak, pembangunan bukan soal mengejar modernitas, tetapi memastikan masa depan yang masih punya benih, hutan, dan air.’ PLD Dayak adalah jalan pulang: pulang ke memori, pulang ke solidaritas, pulang ke martabat. Lebih jauh, ia juga tawaran global: sebagaimana Halbwachs, Korten, Cornwall & Gaventa, hingga FAO menegaskan, pembangunan sejati hanya mungkin jika dipimpin rakyat. Dengan demikian, pengalaman Dayak tidak hanya relevan bagi Kalimantan, tetapi bagi dunia yang tengah mencari jalan menghadapi krisis iklim dan pangan.