TAPIN,humanusantara.com – Setiap hari dari jalan A Yani Km 101 Desa Suato Tatakan, Kecamatan Tapin Selatan, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan (Kalsel) nampak hilir mudik angkutan batubara, membawa kekayaan alam untuk dijual. Namun, di balik geliat bisnis itu ada sejumlah pihak yang dirugikan, diantaranya adalah petani.
Kepala Desa Suato Tatakan Fahmi Sadikin mengatakan, sejumlah petani hari ini sudah mulai bereaksi setelah sekian lama terdampak limbah batubara. Disinyalir, berakar dari aktivitas PT Antang Gunung Meratus (AGM).
“Kita data, tak kurang dari 80 hektare lahan pertanian warga kita yang terdampak limbah batubara,” ujarnya saat meninjau lokasi terdampak di area aktivitas PT AGM, Kamis (1/5/2025).
Angka 80 hektare itu adalah hasil akumulasi dari luasan lahan milik 47 petani Desa Suato Tatakan. Mereka tergabung dalam kelompok tani (Poktan) Telaga Baja dan Cempaka Putih.
Cemaran debu batubara itu sudah sejak lama diderita oleh para petani, tak kurang dari satu dekade terakhir. Lahan pertanian yang dulunya produktif ini berada di pinggiran jalan hauling hingga sekitar area stockpile batubara PT AGM.
“Produktivitas lahan pertanian setiap tahun semakin menurun. Ada juga yang sama sekali tak bisa ditanami lagi, karena tanahnya rusak,” ujar Fahmi.
Kamis (1/5/2025), bersama kepala desa dan sejumlah masyarakat Suato Tatakan, awak media ini bertandang ke sejumlah titik yang diduga tercemar oleh aktivitas perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) ini.
Benar saja, debu batubara menyelimuti lahan pertanian masyarakat. Khususnya, yang berdekatan dengan sisi jalan hauling dan area stockpile PT AGM di Kanal Lokbuntar.
Di lokasi, debu batubara baik yang muntah dari lalu lalang angkutan maupun stockpile. Siang itu cukup terasa masuk dalam hidung dan hanya sebentar partikel hitam ini menempel di tubuh. Maka, cukup bisa dibayangkan kondisi keseharian petani yang menggarap lahan berdampingan dengan industri ekstraktif ini.
Petani Tak Berdaya
Penulis bersama sejumlah awak media lainnya, disambut hangat oleh mereka yang terdampak. Melihat ke lokasi, cukup miris kondisi lahan dan nasib para petani ini.
Salah satunya, Anang Ardiansyah. Lelaki berperawakan umur 50 tahun ke atas ini tak segan menyampaikan keluh kesahnya. Meskipun berbicara terbata-bata dengan bahasa daerah namun cukup bisa dipahami inti dari maksud hatinya.
“Setelah 7 tahun (sejak ada jalan hauling) tak bisa lagi digarap,” ujarnya dengan nada pelan.
Anang bilang, sejak terasa ada perubahan lingkungan karena kehadiran jalan angkutan ini, ia sudah berulang kali mencoba menanam namun hasilnya tak maksimal.
Dulu, terang Anang. Faktor penyebab gangguan produktivitas padi ini, karena peningkatan hama, menumpuknya lumpur hitam di media tanam hingga debu batubara yang hinggap di batang dan buah tanaman.
Tanah milik Anang yang saat ini sudah menjadi lahan tidur tak menghasilkan lagi itu luasnya sekitar 11 borong.
Nasib, serupa juga dialami oleh Sudiati (53), lahan miliknya berdekatan dengan milik Anang.
Kalau Anang, terbilang cukup beruntung dibandingkan beberapa petani yang lain. Ia masih memiliki lahan alternatif untuk bertani padi, lokasi jauh dari jangkauan polusi batubara. Sehingga, ketahanan pangan keluarganya masih bisa tercukupi.
Lebih, jauh. Kami menengok mereka yang masih bertahan dan terus menanam padi. Kali ini di sekitar operasional stockpile di Kanal Lokbuntar PT AGM.
Kondisi lingkungannya, cukup dramatis. Langkah kaki menuruni jalan ke arah sawah warga sudah disambut tumpukan debu hitam. Kalau hujan, bilang warga tani, otomatis langsung gugur ke lahan sawah.
Di sini, kita berjumpa dengan Rusmiati (41) seorang janda empat anak. Profesinya selain sebagai ibu rumah tangga, juga bisa disebut sebagai petani tulen. Ia juga tak segan menunjukkan kondisi lahannya yang sebulan lagi dipanen itu.
Tanah dan air di sawah terlihat berwarna hitam pekat. Sedangkan biji padi varietas lokal yang berproses mengisi buah itu diselimuti debu hitam. Nyaris setiap bulir dihinggapi partikel yang diduga kuat berasal dari batubara.
Lokasi lahan milik Rusmiati dengan aktivitas stockpile batubara ini hanya berjarak selemparan batu. Tak kurang dari 100 meter.
“Kalau panen, berasnya sebagian untuk dimakan, sebagian untuk dijual,” ujarnya.
Alasan Rusmiati menjual beras ini tak lain untuk menambah modal jika musim tanam selanjutnya tiba. Untuk luasan lahan sekitar 25 borong, ia harus merogoh kocek minimal Rp5 juta.
Nasib serupa juga dialami oleh Kursani seorang petani tua yang juga berdekatan dengan area stockpile batubara PT AGM ini.
“Mulai sabaharian kami bahuma (menanam padi). Sekarang, rasanya sangat sulit untuk bertahan,” ungkapnya.
Dengan kondisi demikian, sebanyak 47 petani yang bergantung hidup dari hasil alam ini, satu suara untuk menuntut ganti untung.
Para petani Desa Suato Tatakan ini meminta pihak perusahaan agar membeli atau membebaskan tanah mereka.
Hasil ganti untung itu, nantinya diniatkan para petani untuk membeli lahan baru yang lebih layak untuk ditanami padi. Tentunya, menjauh dari aktivitas bisnis batubara PT AGM.
Pembebasan lahan ini dinilai adalah solusi konkrit agar tak ada lagi permasalahan dan kembali bertani dengan tenang. Asal tau saja, keputusan para petani ini cukup delematik, karena harus melepas lahan tani warisan turun-temurun.
Melawan dan Siap Berpisah
Era Kepala Desa Suato Tatakan dipimpin Fahmi Sadikin, upaya perlawanan atas ruang hidup yang layak menggema. Selain terkait limbah batubara yang berdampak terhadap petani ini, permasalahan lain juga dipertebal agar segera dituntaskan PT AGM.
Setahun terakhir ini, segala upaya telah dilakukan. Ada sembilan tuntutan dari Desa Suato Tatakan. Konteksnya, tak lain perihal kepentingan masyarakat, mulai dari isu ekonomi, sosial hingga kesehatan.
Isu ekonomi, contohnya menyasar pertanian. Sosial terkait kesenjangan rekrutmen tenaga kerja lokal. Sedangkan kesehatan yakni terkait partikel debu batubara yang tiap waktu mengancam kelayakan hidup masyarakat.
“Sejauh ini kami sudah melakukan mediasi baik dari internal desa dengan perusahaan. Maupun yang difasilitasi oleh pihak kepolisian, sampai sekarang kita terus berupaya,” ujar Fahmi yang menjadi Kepala Desa Suato Tatakan sejak tahun 2020 itu.
Rabu (30/4/2025), pihak Pemerintah Desa Suato Tatakan dipimpin Fahmi bersama perwakilan kelompok petani bertandang ke DPRD Tapin. Dihadiri oleh perwakilan manajemen PT AGM dan sejumlah perangkat Pemerintahan Kabupaten Tapin.
Temu itu merupakan rapat dengar pendapat (RDP) difasilitasi langsung oleh Ketua DRPD Tapin Achmad Riduan Syah bersama anggota Komisi III. Keluh kesah Desa Suato Tatakan pun tumpah dalam pertemuan ini.
Fahmi mengatakan, upaya bersama mengadu ke DPRD Tapin ini mungkin adalah langkah terakhir mereka untuk mendapatkan keadilan atas ruang hidup yang layak.
Jika ke depan tuntutan masyarakat ini berujung pada kebuntuan. Dikatakannya, pihak pemerintah desa bersama masyarakat akan melakukan tindakan tegas terhadap perusahaan yang beroperasi di wilayah Desa Suato Tatakan.
“Jika buntu, kita siap berpisah dengan perusahaan. Jadi, desa kita tak akan membuka ruang kerjasama lagi dengan PT AGM,” ucapnya.
Terkait RDP itu, cukup membuka secerah harapan. Kini sudah menjadi atensi di tingkat kabupaten. Ketua DPRD Tapin Achmad Riduan Syah menunjukkan sikap tegas dan pasang badan untuk menyelesaikan persoalan di Desa Suato Tatakan itu.
“Segera kita jadwalkan agenda peninjauan ke lapangan,” ungkapnya yang baru menjabat sebagai Ketua DRPD Tapin itu.
Peninjauan itu, rencananya tak hanya dilakukan oleh DPRD Tapin. Namun juga mengajak pihak eksekutif yang berkepentingan terkait permasalahan ini.
“Kita siap pasang badan untuk masyarakat,” ujar pemuda yang akrab disapa Iwan ini kepada awak media.
Selebihnya, harap dimengerti. Iwan bilang masyarakat tak ada niat menghalangi ataupun mengganggu aktivitas ekonomi bisnis perusahaan. Ia ingatkan, pihak perusahaan responsif terhadap lingkungan sosial hingga ekonomi masyarakat di sekitar operasional.
“Banyak poin terkait permasalahan warga ini, Insyaallah akan kita akomodir, agar dapat penyelesaian yang baik,” ujarnya.
Terpisah, usai RDP hari itu, sejumlah awak media mencoba melakukan wawancara dengan pihak perusahaan yakni Section Head Government Relation PT AGM Achmad Syahdeni.
Soal pertanyaan wartawan ini terkait permasalahan masyarakat Desa Suato Tatakan. Hasilnya nihil, saat itu Syahdeni enggan memberikan keterangan. (hns1/red)